Keunikan manusia
adalah karena ia memiliki bahasa sebagai alat komunikasi antar sesamanya. Di
dunia ini terdapat kurang lebih 6.000 bahasa ibu (bahasa daerah) dan 3.000 di antaranya
diperkirakan akan punah dalam abad ini. Berkaitan dengan itu, UNESCO menetapkan
tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional atau International
Mothers Lenguage Day. Penetapan ini adalah upaya
pelestarian bahasa daerah yang terancam punah karena di tinggalkan akibat
globalisasi dan perkembangan teknologi.
National Geographic memprediksi bahwa ada 1 bahasa ibu
di dunia yang punah setiap 14 hari. Betapa mengerikan
karena banyak bahasa ibu di dunia ini sedang berjalan menuju
ke kepunahannya. Lalu apa peduli kita, orang Papua?Mari kita lanjutkan.
Banyak bahasa ibu/daerah di Tanah Papua telah punah bahkan
sedang menuju kepunahan. Data hasil penelitian Institute of Linguistic
Internasional (SIL), menunjukkan bahwa bahasa etnis papua tersisa 275 dengan
hanya 130 yang dapat dikatakan eksis, sedangkan sisanya telah punah atau sedang
menuju kepunahan, antara lain Tandia, Dusner (Wondama), Mapia (Supiori),
Miere (Kaimana), Mansim (Manokwari), Tobati (Jayapura) dan lainya. Walau
demikian jangan berbangga, karena belum tentu ke 130 bahasa yang dinyatakan
sedang eksis saat ini dapat bertahan lama. Ambil contoh “Wos Byak” (Bahasa
Biak). Untuk sementara mungkin eksis, namun semakin berkurangnya penutur “Wos
Byak” menunjukkan bahwa “Wos Byak” sedang bergerak ke jurang kebinasaan, karena
jika penutur suatu bahasa hanya berkisar 1000 s/d 5000 orang, maka bahasa
dimaksud berada dalam ancaman kepunahan. Lalu apa penyebab punahnya bahasa
ibu/bahasa daerah?
Banyak penelitian telah mengungkapkan berbagai fakta yang
merupakan penyebab. Namun secara empiris saya melihat ada beberapa penyebab.
PERTAMA, karena banyak orang tua tidak lagi mengajarkan Wos Byak (dan bahasa
etnis Papua lainnya) kepada anak-anak mereka, terutama orang tua-orang tua
generasi baru, karena mereka sendiripun banyak yang tidak bisa berbasa Biak
(dan bahasa Papua lainnya) . KEDUA, pandangan yang keliru dari para orang tua
yang melarang anak mereka menggunakan bahasa daerah di depan umum/sekolah
karena merupakan tindakan bodoh dan tidak sopan, KETIGA, banyak anak muda Biak
(dan Papua lainnya) malu menggunakan bahasa ibunya di tempat umum, takut
disebut kampungan. Sebaliknya mereka sangat bangga menggunakan “Wos Amber”
(Bahasa luar/asing).
Berbicara soal penggunaan bahasa ibu, saya salut kepada
masyarakat etnis Jawa. Mereka tak ambil pusing menggunakan bahasa daerahnya dimanapun
mereka berada : di pasar, di terminal dan dimana saja termasuk di pedalaman
Papua sekalipun, walaupun hanya ada 2 orang, itulah yang menyebabkan bahasa
Jawa eksis hingga kini.
Lalu apa hubungan kepunahan bahasa ibu dan kepunahan etnis??
Setiap etnis dapat dikenali dari kebudayaannya. Kebudayaan
adalah suatu cara hidup yang tumbuh, berkembang, hidup dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok etnis, suku atau bangsa yang diwariskan dari generasi ke
generasi. Tedapat 7 unsur budaya, dimana unsur terbesar dalam kebudayaan adalah
bahasa, karena bahasa adalah penopang tradisi lisan yang dapat
mentranformasikan kesejarahan, pengetahuan dan peradaban secara turun temurun.
Selain itu bahasa ibu/bahasa daerah penting karena menunjukkan eksistensi dan
jati diri/identitas setiap etnis/suku, termasuk etnis Papua. Dari uaraian di
atas dapat kita pahami bahwa hilangnya bahasa dapat berakibat pada hilangnya
unsur budaya yang lain, terutama kesenian (khususnya sastra dan tutur). Dengan
hilangnya 1 atau lebih unsur kebudayaan suatu suku/etnis maka sebenarnya
kebudayaan etnis itu sudah tidak ada (Ingat!! Kebudayaan harus memenuhi 7
unsur). Dengan hilangnya kebudayaan suatu etnis berarti hilang pula jati
diri/identitas suku/etnis tersebut. Itu artinya etnis tersebut sebenarnya sudah
punah. Maka ketika bahasa ibu/bahasa daerah di seluruh tanah Papua, khususnya
Wos Byak telah tiada, maka kita bukan lagi orang Biak (Papua), tetapi orang
Indonesia.
Pertanyaannya,
siapa yang menghilangkan identitas dan jati diri orang Papua? Siapa yang harus
kita salahkan?? Sadar atau tidak sadar kita sendirilah yang mungkin akan
melakukan “bunuh diri” maka kita sendirilah yang harus menjaga jati diri dan
identitas kita dengan cara apapun.. Jow Suba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar