Cari Blog Ini

Rabu, 03 Juni 2020

JALAN MENUJU PUNAHNYA ETNIS BIAK (PAPUA)

Keunikan manusia adalah karena ia memiliki bahasa sebagai alat komunikasi antar sesamanya. Di dunia ini terdapat kurang lebih 6.000 bahasa ibu (bahasa daerah) dan 3.000 di antaranya diperkirakan akan punah dalam abad ini. Berkaitan dengan itu, UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional atau International Mothers Lenguage Day.  Penetapan ini adalah upaya pelestarian bahasa daerah yang terancam punah karena di tinggalkan akibat globalisasi dan perkembangan teknologi.  
National Geographic memprediksi bahwa ada 1 bahasa ibu di dunia yang punah setiap 14 hari. Betapa mengerikan karena banyak bahasa ibu di dunia ini sedang berjalan menuju ke kepunahannya. Lalu apa peduli kita, orang Papua?Mari kita lanjutkan.

Banyak bahasa ibu/daerah di Tanah Papua telah punah bahkan sedang menuju kepunahan. Data hasil penelitian Institute of Linguistic Internasional (SIL), menunjukkan bahwa bahasa etnis papua tersisa 275 dengan hanya 130 yang dapat dikatakan eksis, sedangkan sisanya telah punah atau sedang menuju kepunahan, antara lain Tandia, Dusner (Wondama), Mapia (Supiori), Miere (Kaimana), Mansim (Manokwari), Tobati (Jayapura) dan lainya. Walau demikian jangan berbangga, karena belum tentu ke 130 bahasa yang dinyatakan sedang eksis saat ini dapat bertahan lama. Ambil contoh “Wos Byak” (Bahasa Biak). Untuk sementara mungkin eksis, namun semakin berkurangnya penutur “Wos Byak” menunjukkan bahwa “Wos Byak” sedang bergerak ke jurang kebinasaan, karena jika penutur suatu bahasa hanya berkisar 1000 s/d 5000 orang, maka bahasa dimaksud berada dalam ancaman kepunahan. Lalu apa penyebab punahnya bahasa ibu/bahasa daerah?
Banyak penelitian telah mengungkapkan berbagai fakta yang merupakan penyebab. Namun secara empiris saya melihat ada beberapa penyebab. PERTAMA, karena banyak orang tua tidak lagi mengajarkan Wos Byak (dan bahasa etnis Papua lainnya) kepada anak-anak mereka, terutama orang tua-orang tua generasi baru, karena mereka sendiripun banyak yang tidak bisa berbasa Biak (dan bahasa Papua lainnya) . KEDUA, pandangan yang keliru dari para orang tua yang melarang anak mereka menggunakan bahasa daerah di depan umum/sekolah karena merupakan tindakan bodoh dan tidak sopan, KETIGA, banyak anak muda Biak (dan Papua lainnya) malu menggunakan bahasa ibunya di tempat umum, takut disebut kampungan. Sebaliknya mereka sangat bangga menggunakan “Wos Amber” (Bahasa luar/asing).
Berbicara soal penggunaan bahasa ibu, saya salut kepada masyarakat etnis Jawa. Mereka tak ambil pusing menggunakan bahasa daerahnya dimanapun mereka berada : di pasar, di terminal dan dimana saja termasuk di pedalaman Papua sekalipun, walaupun hanya ada 2 orang, itulah yang menyebabkan bahasa Jawa eksis hingga kini.
Lalu apa hubungan kepunahan bahasa ibu dan kepunahan etnis??
Setiap etnis dapat dikenali dari kebudayaannya. Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang tumbuh, berkembang, hidup dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok etnis, suku atau bangsa yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tedapat 7 unsur budaya, dimana unsur terbesar dalam kebudayaan adalah bahasa, karena bahasa adalah penopang tradisi lisan yang dapat mentranformasikan kesejarahan, pengetahuan dan peradaban secara turun temurun. Selain itu bahasa ibu/bahasa daerah penting karena menunjukkan eksistensi dan jati diri/identitas setiap etnis/suku, termasuk etnis Papua. Dari uaraian di atas dapat kita pahami bahwa hilangnya bahasa dapat berakibat pada hilangnya unsur budaya yang lain, terutama kesenian (khususnya sastra dan tutur). Dengan hilangnya 1 atau lebih unsur kebudayaan suatu suku/etnis maka sebenarnya kebudayaan etnis itu sudah tidak ada (Ingat!! Kebudayaan harus memenuhi 7 unsur). Dengan hilangnya kebudayaan suatu etnis berarti hilang pula jati diri/identitas suku/etnis tersebut. Itu artinya etnis tersebut sebenarnya sudah punah. Maka ketika bahasa ibu/bahasa daerah di seluruh tanah Papua, khususnya Wos Byak telah tiada, maka kita bukan lagi orang Biak (Papua), tetapi orang Indonesia.
Pertanyaannya, siapa yang menghilangkan identitas dan jati diri orang Papua? Siapa yang harus kita salahkan?? Sadar atau tidak sadar kita sendirilah yang mungkin akan melakukan “bunuh diri” maka kita sendirilah yang harus menjaga jati diri dan identitas kita dengan cara apapun.. Jow Suba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar